Peringatan Hari Buruh, Ombudsman RI Provinsi Jabar Gelar Diskusi Perlindungan Perempuan Pekerja Perkebunan

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Barat, Dan Satriana. Foto/Istimewa

BANDUNG, BANDUNGSATU.COM – Pada tanggal 30 April 2024 Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat berkolaborasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat serta Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyelenggarakan diskusi mengenai hak atas perlindungan sosial bagi perempuan pekerja di sektor perkebunan di Jawa Barat.

Hal tersebut disampaikan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Barat Dan Satriana, Jumat (03/05).

“Diskusi ini menjadi relevan dalam suasana Peringatan May Day atau Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 Mei dan menjadi momentum untuk membahas isu-isu terkait tenaga kerja yang masih relevan saat ini. Diskusi ini juga diikuti oleh peserta dari perangkat daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bandung, dan pemerintah Kabupaten Sumedang yang terkait dengan isu perempuan, ketenagakerjaan, dan kesehatan,” kata Dan.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, Teppy Wawan Dharmawan menyampaikan bahwa Pemerintah sudah memiliki regulasi, aparat pelaksana, dan mekanisme pengawasan terhadap pemenuhan hak maternitas bagi pekerja perempuan di pekerjaan sektor formal. Sedangkan perlindungan hak maternitas bagi pekerja perempuan di pekerjaan sektor informal antara lain diatur dalam Undang-Undang 24 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan jaminan sosial.

“Namun memang terdapat perbedaan karena di pekerjaan sektor formal sudah terdapat pengawasan terhadap penerapan norma-norma yang mencakup pemberian sanksi, sementara untuk pekerjaan sektor informal Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat ini memberikan edukasi agar penyelenggara pekerjaan sektor informal memberikan perlindungan tenaga kerja melalui jaminan sosial ketenagakerjaan melalui BPJS,” kata Teppy.

Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dalam pengantar diskusi tersebut, menekankan dua bias utama dalam isu ketenagakerjaan. Pertama adalah bias informality, karena kebijakan tidak sebenarnya mengenal pekerjaan sector formal dan pekerjaan sektor informal.
“Informal itu sebenarnya adalah jenis pekerjaannya, kerena di pekerjaan sektor formal pun sebenarnya masih terdapat jenis pekerjaan informal karena status pekerja yang tidak tetap,” kata Robert.

Bias ke dua, kata Robert adalah bias gender terkait pekerja perempuan, sehingga mereka menjadi kelompok rentan dalam konteks perlindungan sosial.

“Ombudsman memandang, bahwa isu ketenagakerjaan merupakan mandat khusus dari konstitusi Republik Indonesia. Disebutkan, setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan dunia kerja. Ini yang mendasar dan peraturan perundang-undangan pelaksanaan ketenagakerjaan harus mengacu pada prinsip dalam konstitusi dan menghindarkan bias/distorsi yang masih terjadi sampai hari ini,” jelas Robert.

Diskusi pun dilanjutkan dengan pemaparan Anwar Ma’ruf dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengenai hasil riset dan rekomendasi mengenai Maternity Protection for Women Workers in the Agrifood Sector in Southeast Asia yang dilakukan oleh jaringan Asian Roundtable for Social Protection (AROSP) bersama KPRI (Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia) dan IWE (International Women Empowerment) di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.

Riset ini sendiri berfokus pada perlindungan maternitas sektor komoditas kopi di Jawa Barat karena komoditas ini hingga 80 persen pekerja perempuan dengan status informal.

Dalam riset tersebut ditemukan, bahwa mayoritas perempuan yang bekerja di sektor informal tidak mendapatkan perlindungan sosial, khususnya perlindungan kehamilan. Meskipun pemerintah memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh warga negara, namun hal ini tidak selalu optimal. Di lapangan masih ditemukan pelayanan diskriminatif berbagai program bantuan sosial lainnya, seperti PKH, KIP, PIP dan lain lain, termasuk pada saat COVID-19.

“Beberapa tantangan yang dihadapi pekerja perempuan di perkebunan sebagai pekerja lepas dan tidak terikat yang mengakibatkan tidak adanya perlindungan sosial berupa jaminan pekerjaan dan kesehatan, termasuk tidak adanya perlindungan kehamilan. Pada saat ini di Indonesia belum ada peraturan khusus mengenai perlindungan maternitas, sehingga hak perlindungan maternitas belum terlaksana secara maksimal, “kata Anwar.

Ia juga mengatakan, informasi mengenai perlindungan maternitas baik dari pemerintah maupun tempat kerja masih kurang, sehingga pekerja perempuan tidak mengetahui adanya perlindungan maternitas di tempat kerja dan program bantuan sosial dari pemerintah. Pada lingkup kebijakan, dana yang dialokasikan untuk meningkatkan perlindungan kesehatan termasuk perlindungan Persalinan baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih kurang yang berdampak pada pelayanan kesehatan dan penyediaan sarana/fasilitas kesehatan yang rendah.

Selain itu, berbagai Bantuan Sosial yang tidak tepat sasaran berdampak pada banyaknya masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak menerima bantuan/subsidi. Di sisi lain, perempuan secara formal tidak dilibatkan dalam rapat pengambilan keputusan, sehingga kebutuhan dan kepentingan perempuan tidak terakomodir dalam kebijakan publik. Selanjutnya Kepala Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, Joao De Araujo Dacosta menyampaikan bahwa perlindungan terhadap pekerja informal menjadi penting dan menjadi tugas bersama mengingat pada saat ini prosentase pekerja informal mencapai 55,15 persen dari seluruh pekerja di Jawa Barat. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi payung hukum pengawasan dan penegakan hukum terhadap ketenagakerjaan.

Kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait perlindungan bagi pekerja perempuan dibagi menjadi tiga, yakni protektif, korektif, dan non diskriminatif. Tugas dan peran pemerintah dalam pelindungan pekerja perempuan yang pertama pengawasan, kedua program pembinaan dan sosialisasi, ketiga komitmen perusahaan, dan terakhir evaluasi dan pelaporan. Berdasarkan hasil diskusi pada hari ini, Ombudsman menganggap isu ketenagakerjaan menjadi penting dibahas bersama karena menempati peringkat ke-3 laporan terbanyak yang diterima oleh Perwakilan Ombudsman RI Jawa Barat, setelah laporan mengenai Pertanahan dan Pendidikan.

Terutama berkaitan dengan pekerja perempuan yang menghadapi berbagai tantangan yang menyebabkan mereka termasuk kelompok rentan yang memerlukan bantuan negara dan pihak lain agar dapat mengakses pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dan Satriana mengatakan, diskusi tersebut menjadi pintu masuk bagi kolaborasi beberapa stakeholder untuk bersama-sama membahas lebih lanjut rekomendasi riset untuk mendorong pemerintah untuk memastikan pekerja informal perempuan sektor perkebunan sebagai Penerima BPJS Kesehatan (PBI), termasuk tata cara daftar dan pemastian proses di DTKS, agar tepat sasaran.

“Pemerintah juga direkomendasikan membangun fasilitas kesehatan di pedalaman/daerah terpencil, memperbaiki sistem BPJS yang bermasalah, serta membentuk peraturan tentang perlindungan sosial khusus; jaminan Kesehatan dan ketenagakerjaan bagi pekerja informal, serta pelibatan perempuan dalam perencanaan kebijakan publik yang berdampak kepada mereka,” pungkasnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.