Mualaf di Pedalaman Pulau Buru Berjalan Puluhan Kilometer ke Masjid Terdekat

DCIM100MEDIADJI_0093.JPG
PULAU BURU, BANDUNGSATU —
Yayasan Masjid Nusantara, lembaga filantrofi yang fokus pada kemakmuran masjid di pelosok Indonesia kembali memulai pembangunan bangunan masjid di Dusun Skusa, Desa Wasi, Kecamatan Finalisela, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Tim ‘Jelajah Masjid Nusantara’ berisi 5 orang sobat masjid YMN akan memulai peletakan batu pertama bangunan masjid bagi ratusan muallaf penduduk asli pulau Buru, Suku Rana.
Anggota Tim Jelajah Masjid Nusantara, Mohamad Iqbal Vetra mengatakan, tim mengawali perjalanan menuju pulau Buru dari Jakarta menuju bandara Patimura, Ambon, Rabu (24/2/2021).
Cuaca buruk di belahan timur Indonesia sempat menghadang langkah tim bergeser masuk pulau Buru. Jadwal penerbangan ke kota Namlea Kabupaten Buru, terlambat 3 jam lantaran bandara diselimuti awan tebal.
Tiba di bandara Namlea, tim bergegas berbelanja logistik berupa bahan pokok dan sepaket sirih pinang untuk menghormati adat istiadat warga setempat.
“Dari Namlea kita harus melalui jalur darat sekitar 110 kilometer sampai Skusa, katanya kita harus melalui jalanan aspal kemudian jalur tanah dan butuh waktu 7 jam untuk sampai disana,”ungkapnya.
Awalnya, hari yang sama tim akan langsung menuju kampung skusa menumpangi mobil 4×4 milik relawan YMN di pulau Buru. Sayangnya, cuaca kembali tak bersahabat sementara matahari terlanjur terbenam dan jalur terlalu mengancam jika dilalui saat gelap.
Keesokan harinya, pagi buta tim bersama beberapa orang lokal beranjak pergi dari Namlea menyusuri jalan aspal Desa Lala, Ubung, Jikumerasa, Waimiting, Sawa, dan Lamahang. Nampak di kiri kanan jalan, hamparan kebun kayu putih yang menjadi mata pencaharian utama penduduk pulau Buru diselingi pohon keras jenis Meranti.
Jalanan mulai menanjak beralaskan tanah mulai dari Desa Miskoko sepanjang 20 kilometer menuju Desa Silewa. Disini, tim beristirahat mendinginkan mesin mobil sembari anggota tim sejenak meluruskan pinggang di selasar masjid kampung.
Di Desa Silewa ini, tim masih bisa menikmati jaringan internet dan energi listrik karena setelah itu tiang PLN tak lagi berdiri tegak di pinggir jalan. Sinyal provider sebagai arus utama online gadget maupun laptop hilang seiring terjalnya perjalanan berikutnya.
“Dari Silewa, mobil mulai menyusuri jalan tanah merah lebarnya cuma masuk 1 mobil. Medannya didominasi tanjakan terjal berbatu dari gunung karang,”katanya.
Raungan knalpot mobil menembus lembah dan hutan Meranti dengan tutupan lahan yang cukup rapat, tebing rawan longsor dan bongkahan pohon tumbang sesekali menghadang. Beruntung, langit saat itu cukup cerah dan mobil berhasil sampai Skusa melalui puluhan anak sungai dan megahnya gunung pulau Buru.
“Jalur berat ada di Dusun Waelana lana, Kudilale, Waerei, Skusa-Ukalahin menyeberang sungai besar Waigereng sampai kami tiba di tempat bermalam. Rumah warga muslim Mhangat Nangan,”sebutnya.
Suku Rana yang bermukim di Desa Wasi berjumlah ratusan beragama agama adat, hindu, kristen dan Islam, mereka bermukim di 4 dusun. Umum bagi warga disana, dalam satu keluarga menganut keyakinan berbeda, namun mereka tetap hidup rukun dan damai berdampingan.
Mata pencaharian warga mengandalkan buruh petik daun kayu putih, menyadap damar, menanam coklat dan bertani singkong sebagai makanan pokok. Dari ratusan warga ini 83 orang diantaranya muslim, mereka merupakan muallaf dan keluar dari agama adat.
Benar saja, saat tim Jelajah Masjid Nusantara tiba warga berbeda agama menyambut dengan upacara adat diiringi tabuhan Tifa dan tarian Cakalele. Ratusan warga tua, muda, pria dan wanita bersuka cita dengan kedatangan tamu yang jarang datang ke kampung terisolir itu.
“Kami disambut kesenian khas suku Rana, kemudian harus merasakan sepatnya mengunyah campuran sirih, pinang dan kapur. Itu sebagai bentuk penghormatan bagi tamu,”ujar Iqbal.
Pemimpin adat, pemuka agama dan seluruh warga mengajak tim menyantap Papeda, goreng singkong dan pisang tanduk sebagai makanan pokok mereka. Obrolan hangat lintas agama dan suku mengalir bersama seteguk teh dan kopi.
“Disini sudah ada rumah ibadah untuk warga kristen dan hindu, sementara masjid belum ada. Paling dekat di desa Silewa, jaraknya 80 kilometer dari sini,”ucap Boas Waemese, seorang ‘Fuji’ pemuka agama Hindu yang juga pemimpin marga Waemese membuka perbincangan dengan tim Jelajah Masjid Nusantara, Jumat (26/2/2021).
Boas mengatakan, kerukunan beda agama dalam satu keluarga menjadi hal lumrah di suku Rana. Putranya saja bernama Widing, seorang muallaf dan dirinya tidak mempermasalahkan beda agama dengan anaknya sendiri.
Begitu juga dengan warga lainnya, perbedaan keyakinan dalam satu keturunan tidak lantas memutus hubungan keluarga. Mereka saling mendukung untuk  menjalankan ibadahnya dan tetap bergotong royong membangun toleransi di pulau Buru.
“Keluarga saya menghibahkan 100×100 meter lahan untuk dibangun masjid, toh itu untuk kebaikan keluarga juga yang muallaf,”sebut dia.
Namun untuk memiliki bangunan masjid yang refresentatif, warga tidak punya cukup uang membeli semen, pasir dan atap apalagi karpet untuk salat. Penghasilan warga hanya sekedar penyadap damar dan petik daun kina.
Apalagi, insfrastruktur rusak berat untuk mencapai kampung serta tidak adanya listrik menjadikan ekonomi warga sulit berkembang. Puluhan muallaf desa Swasi berharap bangunan masjid segera terbangun agar bulan ramadan nanti bisa digunakan.
Muhamad Anis Latbual (21) salah seorang muallaf dusun Mangat Nangan mengakui sudah satu tahun dirinya menjadi muallaf. Namun, sejak mengenyam pendidikan SMP keinginan untuk bersyahadat sudah ada.
“Dulu orang tua belum menyetujui karena di dusun tidak ada masjid, mereka khawatir saya harus meninggalkan dusun untuk bisa beribadah di masjid terdekat,”katanya.
Keinginannya untuk memeluk Islam semakin kuat setelah mengenal tambatan hati wanita muslim bernama Ulfa Elis (20). Disaksikan ustad Mujahid, Anis akhirnya bersyahadat dan akhirnya menikahi Ulfa. Mereka kini tinggal di dusun Mangat Nangan.
Anis dan puluhan muallaf lainnya berharap bangunan masjid segera hadir di Swasi, dengan adanya masjid muslim minoritas Swasi bisa melakukan salat berjamaah dan salat jumat tanpa perlu menempuh jarak puluhan kilometer ke masjid terdekat.
“Tentu kami ingin ada masjid disini, bahkan mereka yang berbeda agama juga berharap sama karena gereja dan pura sudah ada,”ujarnya.
Sekretaris Desa Swasi, Soni Nacikit menerangkan, Swasi terdiri dari 4 dusun yakni dusun Ukalahin, Mangat nangan, Skusa dan Jehonangan. Kurang lebih ada 200-an jiwa bermukim disana dan menganut keyakinan berbeda, namun toleransi agama tetap terbangun dengan baik.
Direktur Masjid Nusantara, Pras Purworo mengatakan, setelah berhasil membangun 124 masjid di pelosok nusantara. Pihaknya akan memulai kembali pembangunan masjid bagi muallaf di desa Swasi.
“Ada 4 pertimbangan pemilihan lokasi, yakni wilayah dengan muslim minoritas, lokasi pelosok dengan akses yang sulit, wilayah dalam kondisi yang terancam berpindah agama serta pembangunan masjid di lokasi bencana. Di desa Swasi pulau Buru ini salah satunya menjadi prioritas dibangun,” terang Pras, Minggu (28/2/2021).
Pras memastikan proses pembangunan masjid di Skusa akan digenjot agar bisa rampung sebelum masuk bulan ramadan.
Masjid Nusantara akan terus konsisten membangun masjid yang nyaman dan aman bagi masyarakat pelosok. Kendala pembangunan akan selalu ada namun hal itu tak menyurutkan semangat untuk tetap bergerak.
“Pembangunan satu masjid itu bisa mencapai angka Rp 250 sampai Rp 280 juta. Yang tinggi pengeluaran itu di ongkos angkut semen dan atap, kalau pasir atau batu biasanya bisa menggunakan dari wilayah sekitar,” katanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.