Ahli Waris Syeik Abdulrahman bin Abdullah Hassan Menang atas Sengketa Tanah yang Sudah Dijual ke PT BPI

Ahli waris Syeik Abdulrahman bin Abdulah Hassan memenangkan sengketa tanah yang sesuai dengan keputusan pengadilan no. 305/1979/C/Bdg Tanggal 25 April 2024 dan Penetapan Pengadilan No. 305/1979/C/Bdg Tanggal 25 September 2008 , tanah yang disengketakan berada di Persil 40 di Tatar Pitaloka Kota Baru Parahyangan Padalarang. Para ahli waris sempat membetangkan spanduk di Gerbang masuk tanah yang disengketakan, Senin (06/05). Foto/BANDUNGSATU.COM

BANDUNG BARAT, BANDUNGSATU.COM – Sebidang tanah di Blok Tegalhaji, Desa Cipeundeuy,  Kecamatan Padalarang, yang tercatat atas nama Siti Ningrum Wiratmana dengan luas 10.041 Ha dan telah menjadi sengketa diputuskan Pengadilan Negeri Bandung untuk dieksekusi dan mengabulkan pihak pemohon.

Tanah yang dieksekusi tersebut, pada saat Konstastering (penetapan titik objek sengketa tanah) pada Senin (06/05), sempat diminta ditangguhkan oleh security Kota Baru Parahyangan, sebagai induk dari perusahaan tergugat PT Belaputra Intiland.

Tindakan ini pun oleh para petugas Pengadilan Negeri Bandung dianggap menghalang-halangi. Sementara petugas security mengatakan bahwa pihaknya hanya minta Konstastering ditunda karena kuasa hukum manajemen Kota Baru Parahyangan sedang tidak ada di tempat.

“Kami bukan menghalang-halangi, karena manajemen kami sudah memutuskan bahwa eksekusi bisa didampingi tim lawyer kami, namun karena lawyer kami sedang di luar kota, maka kuasa hukum kami sudah menulis surat juga pada Pengadilan Negeri Bandung bahwa eksekusi bisa dilakukan saat lawyer kami sudah berada di Bandung,” kata Seorang security yang meminta namanya tidak dipublikasikan.

Pengacara pemohon sendiri mengatakan bahwa sebenarnya pengacara bisa mewakilkan pendampingannya saat Konstastering dilakukan, meski tidak bisa datang langsung ke objek sengketa.

“Saya juga punya pengalaman soal itu, pengacara tidak bisa menunda proses ini. Justru kehadiran mereka bisa diwakilkan pada rekanan lainnya. Pengacara kan banyak, bisa dimintai bantu mewakili, tidak harus mereka menunggu datang dari luar kota,” kata pengacara pemohon, Sutara SH dari Kantor Hukum Muhamad Hari Besar  SH dan Rekan

Ahli Waris Abdulrahman mengatakan sengketa itu berawal dari pembelian tanah oleh Kota Baru Parahyangan pada pihak ketiga untuk pembangunan atas nama PT Bela Putra Inti Land, dimana di tanah tersebut telah berdiri Klaster Tatar Pitaloka. Sementara tanah tersebut sebetulnya tengah dalam sengketa. Namun proses pembelian berjalan terus dan dilakukan pembangunan sampai akhirnya keluar keputusan bahwa ahli waris pemilik tanah menang kasusnya atas penjual tanah tersebut.

“Di situ yang jelas ahli waris itu banyak, hanya yang menang itu Kelompok lima dan Kelompok enam,” kata ahli waris Abdulrahman.

Kuasa hukum pemohon, Sutara SH dari Kantor Hukum Muhamad Hari Besar SH dan Rekan menyatakan bahwa penetapan Pengadilan Negeri Bandung 25 September 2008 terkait tanah tersebut diduga palsu.

“Ini ada dugaan pemalsuan dari penetapan Pengadilan Negeri Bandung 25 September 2008. Kami juga akan melaporkan adanya pemalsuan penetapan itu baik manajemen maupun pengacaranya,” kata Sutara.

Sutara sendiri mengatakan bahwa soal tanah ini sebenarnya sudah inkrah sampai di MA agung. Namun Pihak yang bersengketa dengan ahli waris memaksakan untuk menjual tanah itu sampai PT BPIL mensertifikatkan tanah tersebut sebagai miliknya.

Diketahui, komplik lahan PT. Belaputra Intiland selaku pengelola Kota Baru Paraiyangan dengan ahli waris Almarhum Syeik Abdulrahaman telah dimenangkan ahli waris. Lahan seluas 10,o41 hektar di persil 40 yang saat ini dibangun Klaster Tatar Pitaloka telah direncanakan untuk dieksekusi sejak tahun 2004.

Sita eksekusi itu dilakukan dengan merujuk surat keterangan sita eksekusi melalui proses lelang yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bandung Nomor 305/1972/C/Bdg.

Adapun surat keterangan eksekusi dengan didasarkan atas Putusan PN Bandung Nomor 301/1972Sipil tanggal 8 Juli 1963, Putusan PT Bandung Nomor 75/1968, PT Perdata tanggal 28 Maret 1969, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 454 K/SIP/1969.

Sutara menjelaskan, kegiatan konstatering telah dijadwalkan beberapa kali . Namun langkah itu selalu gagal dengan berbagai alasan dari pihak Kota Baru Parahyangan.

Ditemui di tempat yang sama, ahli Waris Abdulrahman, Yudi Ahadiat Ridwan bin Abdullah Hasan mengatakan bahwa dengan status yang sudah Inkrah pihak yang kalah sengketa tidak bisa menjual aset tanah tersebut dan status tanahnya adalah sita jaminan.

“Udah menang dari dulu, dari PN dari PT sampai dari MA. Sudah inkrah. Kalau sudah inkrah ini artinya dalam status sita jaminan, tidak boleh diperjual belikan,” kata Yudi.

“Keputusan PN, PT sampai MA ini Lembaga tertinggi hukum. Itu lho, presiden saja tunduk. Ini Mahkamah Agung lho, kenapa perusahaan seperti ini kok bisa tidak tunduk,” imbuhnya.

Ia sendiri akan terus memperjuangkan untuk bisa mengembalikan hak tersebut pada ahli waris karena sudah inkraag, apalagi kasus tersebut sudah memakan waktu lama, yakni 19 tahun dan sudah memasuki generasi ke tiga keluarga besar Abdulrahman. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.